Menanamkan Pendidikan Yang Beradab
Syafri Salmi, S.Pd.I |
Tulisan ini muncul
ketika ada postingan dari salah satu anggota group yang sama di whatshap. Setelah
dibaca, ternyata tulisan ini sangat menggugah sekali, berkisah mmengenai
membudayakan pendidikan yang beradab, terutama dalam lingkungan sekolah. ditulis
oleh seseorang yang bernama Irfan Amale, dan juga tulisan tersebut sudah pernah
juga diposting di situs kompasiana .com.
Dalam tulisan ini
berkisah , ketika itu beliau terlibat membantu program Teaching Respect for All
UNESCO. kemudian juga beliau membantu sejumlah sekolah agar menjadi sekolah
welas asih (compassionte school).
Dari dua hal di atas yang membawa beliau bertemu dengan sejumlah
sekolah, pendidik, hingga aktivis revolusioner dalam menciptakan pendidikan
alternatif. Sehingga di benak belaiu ada satu pertanyaan, “ sudah
se-compassionate apa sekolah kita? Sejauh mana sekolah menumbuhkan sikap
respect pada siswa dan guru, serta semua unsur di lingkungan sekolah? Karena
compassion (welas asih) dan respect (sikap hormat dan emphati) adalah bagian
dari adab (akhlak). Maka pertanyaannya bisa sedikit diubah dan terdengar kasar:
sudah seber-adab apakah sekolah kita?.
Kemudian salah seorang dari rekannya melakukan sebuah experimen
yang menarik. Dia berkunjung ke Sekolah Ciputra, sekolah millik pengusaha
Ciputra yang menekankan pada karakter, leadership dan entrepreneurship, serta
memberi pengharagaan pada keragaman agama dan budaya.
Pada kunjungan pertama rekannya datang dengan baju necis
menggunakan mobil pribadi. Sampainya didepan gerbang sekolah yang dituju, Satpam
langsung menyambut hangat, "Selamat datang, ada yang bisa saya
bantu?" Rekannya tersebut menjawab bahwa dia ingin bertemu dengan
kepala sekolah, tetapi dia belum buat janji. Dengan sopan satpam berkata,
"Baik, saya akan telepon pak kepala sekolah untuk memastikan apakah bisa
ditemui, bapak silakan duduk, mau minum kopi atau teh?" Pelayanan yang
begitu mengesankan.
Di waktu lain, rekannya tersebut datang lagi, dengan penampilan
yang berbeda. Baju kumal, dengan berjalan kaki. Satpam yang bertugas memberikan
sambutan yang tak beda dengan sebelumnya, diperlihatkan duduk dan diberi
minuman. Saat berjalan menuju ruang kepala sekolah, satpam mengantarkan sambil
terus bercerita menjelaskan tentang sekolah, bangunan, serta cerita lain seolah
dia adalah seorang tour guide yang betul menguasai medan.
Bertemu dengan kepala sekolah tak ada birokrasi rumit dan penuh
suasana kehangatan. Padahal rekannya tersebut bukan siapa-siapa, dan datang
tanpa ada janjian sebelumnya.
Ini kisah yang pertama, pelajaran yang sangat berharga sekali bagi
kita. Hal yang sangat mengesankan seperti melatih satpam menjadi sigap dan waspada
adalah hal biasa, tetapi menciptakan satpam dengan perangai mengesankan
pastilah bukan kerja semalaman. Pastilah sekolah ini punya komitmen besar untuk
menerapkan karakter luhur bukan hanya di buku teks dan di kelas, akan tetapi
hal ini perlu diterapkan kesemua wilayah sekolah, sehingga saat orang masuk ke
gerbang suatu sekolah, orang tersebut bisa merasakannya. Itulah hidden
curricullum, culture.
Dikesampatan lain, mereka kembali mengadakan kunjungan ke sebuah
sekolah Islam yang lumayan elit di sebuah kota besar. Di halaman sekolah
terpampang baliho besar bertuliskan, "The most innovative and creative
elementary school" sebuah penghargaan dari media-media nasional. Dinding
- dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang menjuarai berbagai lomba. Kemudian
juga ada dua lemari penuh dengan piala-piala. Yang membuat setiap orang yang
berkunjung kesana berfikir, pastilah sekolah
ini sekolah luar biasa.
Kemudian mereka berjalan menuju gerbang sekolah menemui satpam yang
bertugas. Setelah mengutarakan tujuannya untuk bisa bertemu kepala sekolah,
satpam itu dengan posisi tetap duduk menunjuk posisi gerbang dengan hanya
mengatakan satu kalimat, "lewat sana".
Di tangga menuju ruangan kepala sekolah, ada seorang ibu yang
bertugas menjadi front office bertanya kepada mereka "mau kemana?"
dengan wajah tanpa senyum. Saat tiba di ruangan kepala sekolah, kebetulan saat
itu mereka sedang rapat. Sehingga kami harus menunggu sekitar 45 menit. Selama
kami duduk, berseliweran guru datang dan pergi tanpa ada ada yang menghampiri
dan bertanya, " ada yang bisa saya bantu?
Akhirnya kepala sekolah mempersilakan mereka untuk masuk ke
ruangannya. Baru ngobrol sebentar, tiba tiba seseorang di luar membuka pintu
dan memasukkan kepalanya menanyakan sesuatu kepada kepala sekolah yang tengah
mengobrol dengan mereka. Tak lama dari itu tiba-tiba seorang guru masuk lagi
langsung minta tanda tangan tanpa peduli bahwa kami sedang mengobrol. Karena
kesal, akhirnya kepala sekolah itu mengunci pintu agar tidak ada orang masuk.
Dalam obrolan, sempat bertanya, apa kelebihan sekolah ini? Kepala sekolah
terlihat berpikir keras selama beberapa menit sampai akhirnya menjawab,"
ini seperti toko serba ada, semua ada". Dari jawaban itu sudah bisa memahami,
pantas saja satpam sekolah ini tak punya sense of excelent service, kepala
sekolahnya saja tak bisa menjelaskan apa value preposition sekolahnya.
Kemegahan bangunan, serta berbagai prestasi yang telah diraih,
rasanya menjadi tak ada apa-apanya. Karena bukan itu yang membuat kita
terkesan, melainkan atmosfir sekolah, hidden curricullum, culture.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan kesebuah sekolah Islam juga,
akan tetapi sekolah kali ini berbeda dengan sekolah – sekolah sebelumnya. Sekolah
terletak di tengah kampung, kemudian bangunannya kecil sederhana. Bahkan pendiri
sekolah ini bukanlah lulusan universitas, namun hanyalah seorang lulusan STM,
tetapi mengabdikan separuh hidupnya untuk merumuskan dan menerapkan konsep
sekolah kreatif yang dapat memanusiakan manusia. Saat ditanya tentang
sekolahnya, dengan lancar dia menjelaskan konsep sekolah kreatif yang
memberikan keras besar pada kreativitas anak dan guru. Ruang kelas dibuat tanpa
daun pintu. Hanya lubang lubang besar berbentuk kotak, lingkaran, bulan sabit,
bintang. Sehingga ketika guru tidak menarik, siswa boleh keluar kapan saja. Tak
ada seragam sekolah dan buku pelajaran.
Sewaktu mereka berada disekolah tersebut, sembari duduk di
pelataran sekolah sambil menyaksikan keceriaan anak-anak yang tengah bermain.
Selama duduk, ada tiga orang guru dalam waktu yang berbeda menghampiri
menyambut kami dan bertanya, "ada yang bisa yang saya bantu?".
tergambarlah semangat melayani para guru tersebut. Mereka ingin memastikan tidak
ada tamu yang tidak dilayani dengan baik.
Saat mengamati anak-anak bermain, mereka melihat ada seorang anak
yang jatuh dan menangis. mereka mengira bahwa guru akan segera membantu. Tetapi
tebakannya salah, ternyata dua teman sekelasnyalah yang datang menghibur dan
membantunya untuk berdiri dan memapahnya ke kelas.
Di sekolah yang sederhana ini dapat kita menangkap aura kebahagiaan
dari siswa dan guru-gurunya. Tidak perlu tahu kurikulum dan sistemnya, sudah
bisa merasakannya. Konsep dan visi pendirinya, ternyata bukan hanya di kertas. Namun
bisa melihat dalam praktik. Itulah hidden curricullum, culture.
Pada kesempatan lain juga diceritakan bahwa pernah juga terkesan
oleh siswa sekolah internasional yang kebanyakan siswanya berkebangsaan jepang.
Saat itu rekannya akan mengisi acara di depan siswa pukul 10 pagi. Setengah
sepuluh aula masih kosong. Tak ada orang tak ada kursi. Lima belas menit
sebelum acara para siswa datang, mengambil kursi lipat dan meletakkannya dalam
posisi barisan yang rapi. Seusai acara, setiap siswa kembali melipat kursi dan
meletakkannya di tempat penyimpanan, hingga ruangan kembali kosong dan bersih
seperti semula. Itulah culture.
Dari cerita di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa ketertarikan
seseorang terhadap sebuah lembaga bukan hanya pada prestasi apa yang diraih
sekolah, semegah apa sebuah sekolah. Namun ketertarikan tersebut akan lebih
berkesan kepada bagaimana budaya sekolah dibangun dan diterapkan? Banyak
sekolah yang menginvestasikan begitu banyak waktu dan pikiran untuk menyabet
berbagai penghargaan. Tapi tak banyak yang serius membuat sekolah menjadi
berharga dengan karakter dan budi pekerti. Banyak guru dan pelatih didatangkan
untuk memberikan pembinaan tambahan pada siswa agar dapat menang lomba. Tapi
sedikit sekali pelatihan service excellence untuk satpam dan karyawan. Dinding
sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang juara ini juara itu, tapi jarang sekali
foto sesorang siswa dipajang karena dia melakukan sebuah kebaikan. Kehebatan
lebih dihargai daripada kebaikan. Prestasi lebih berharga dari budi pekerti.
Semestinya suatu lembaga harus segera mengubah sistem pendidikan
yang masih berorientasi pada ta'lim (mengajarkan) menjadi ta'dib (penanaman
adab). Dalam konsep compassionate school, tadib harus diterapkan secara
menyeluruh (wholse school approach) meliputi tiga area, pertama SDM yaitu guru,
karyawan, orangtua, hingga satpam, kedua kurikulum, dan yang ketiga iklim atau
hidden curricullum.
Sebuah sekolah bukanlah pabrik yang melahirkan siswa-siswa pintar.
Tapi sebuah lingkungan yang membuat semua unsur di dalamnya menjadi lebih
ber-adab. Untuk mengukur apakah sebuah sekolah sudah menjadi compassionate
school tak serumit standar ISO. Cobalah berinteraksi dengan satpam sekolah,
amatilah bagaimana guru beriteraksi, siswa bersikap. Rasakan atmosfirnya. Jika
preastasi akademik bisa dilihat di selembar kertas, budi pekerti hanya bisa
kita rasakan. Semoga kedepannya pendidikan kita bertambah lebih baik lagi,
menghasilkan siswa – siswa yang terdidik dan terpelajar, memiliki adab dan
sopan santun yang baik.***
0 comments: